Kota Bandung – Beberapa waktu lalu, sahabat saya yang bekerja sebagai guru mengeluh bahwa hampir separuh muridnya menyerahkan tugas esai yang “terlalu sempurna” untuk ukuran pelajar kelas 10. Setelah ditelusuri, rupanya hampir semua menggunakan ChatGPT.
Hal yang menarik sekaligus mempruhatinkan adalah ketika ditanya apakah mereka memahami isi esainya, sebagian besar dari mereka menggelengkan kepala.
Inilah realitas baru dalam dunia pendidikan kita. Di satu sisi, teknologi kecerdasan buatan (AI) membawa berbagai kemudahan. Di sisi lain, ia juga memunculkan tantangan yang belum pernah kita hadapi sebelumnya.
Baca juga: Tindaklanjuti Kebijakan Gubernur, Polresta Bandung Gencarkan Patroli Jam Malam Siswa Sekolah
Sebagai seorang pendidik, praktisi pengembangan potensi, sekaligus orang tua, wajar bila kita merasa ragu. Apakah AI ini sekutu atau justru musuh dalam selimut bagi proses belajar anak-anak kita?
AI: Sekutu Baru di Dunia Belajar
Saya tak bisa memungkiri, teknologi AI mampu memberi pengalaman belajar yang jauh lebih personal. Siswa bisa bertanya tanpa takut dihakimi, mengulang penjelasan sesering mungkin, bahkan mendapatkan bantuan 24 jam tanpa harus menunggu jam konsultasi guru.
Platform seperti Khan Academy dengan tutor AI-nya, Khanmigo, menawarkan dukungan belajar yang luar biasa. Murid bisa bertanya “kenapa rumus ini harus seperti itu?” dan AI akan menjelaskan dengan kesabaran tak terbatas.
Baca juga: Lagi, Dedi Mulyadi Lontarkan Kata “Walk Out” Saat Lantik Bupati Tasikmalaya
Untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, AI yang bisa mengubah teks menjadi suara, atau menyederhanakan paragraf panjang, bisa menjadi penyelamat.
Saya membayangkan betapa bermanfaatnya teknologi ini bagi sekolah-sekolah di daerah yang kekurangan guru. Mungkin AI bisa menjembatani kesenjangan itu.
Tapi AI Bukan Malaikat Tanpa Cela
Namun, seperti pisau bermata dua, AI juga menghadirkan tantangan yang tak ringan. Ketika siswa mulai menyerahkan semua kepada mesin, lalu di mana letak proses berpikirnya? Apakah kita sedang mencetak generasi yang pintar menyalin, tapi tak mampu mengolah?
Baca juga: Stadion Si Jalak Harupat Jadi Venue Piala Presiden 2025
Sebagai manusia, proses belajar tidak hanya tentang jawaban. Ia tentang kebingungan, kegagalan, lalu ketekunan mencari pemahaman. Bila semua diserahkan pada AI, kita mungkin kehilangan nilai-nilai itu.
Belum lagi soal etika. Plagiarisme berbasis AI mulai marak, dan sekolah belum sepenuhnya siap menghadapi ini. Di sisi lain, tidak semua guru paham cara memanfaatkan AI dengan bijak. Alih-alih membantu, kadang justru membingungkan.
Guru Tetap Tak Tergantikan
Saya percaya, secanggih apapun teknologi, manusia tetap membutuhkan manusia untuk belajar. Guru bukan sekadar penyampai materi. Ia adalah pembimbing, penyemangat, dan penanam nilai.
Baca juga: Harga Kepokmas di Cimahi Cenderung Stabil Jelang Iduladha 1446 H
AI bisa menjawab soal, tapi tidak bisa memeluk murid yang kehilangan motivasi. AI bisa menjelaskan rumus, tapi tidak bisa menangkap emosi siswa yang sedang mengalami tekanan.
Oleh karena itu, mari kita berhenti melihat AI sebagai ancaman.
Kita perlu memandangnya sebagai alat bantu yang harus diatur, dipahami, dan dikritisi. Kita butuh literasi digital yang tidak hanya fokus pada penggunaan, tetapi juga pada pemahaman etis dan tanggung jawab penggunaannya.
Saatnya Menyusun Kompas Etika Baru
Jika sebelumnya kita mengajarkan siswa untuk tidak mencontek dari buku, kini kita perlu mengajarkan mereka untuk tidak bergantung sepenuhnya pada mesin.
Baca juga: Begini Pesan Bojan Hodak Kepada Beckham Putra Saat Bergabung di Timnas Indonesia
Kita harus melibatkan mereka dalam diskusi: “Apakah boleh menggunakan AI untuk tugas ini? Kalau iya, sejauh mana? Apakah kamu tetap belajar dari proses itu?”
AI bukan musuh. Tapi ia juga bukan juru selamat. Ia adalah tantangan moral dan pedagogis baru yang harus kita hadapi bersama guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan tentu saja, siswa itu sendiri.
Maka jika ada yang bertanya, “AI itu peluang atau ancaman?”, jawaban saya adalah: tergantung siapa yang memegang kendalinya.***
Kang BePe adalah seorang Praktisi Talents Mapping, penyiar radio, dan analis tulisan tangan. Ia kerap memberikan pelatihan dan edukasi publik seputar potensi manusia, pengembangan bakat, dan komunikasi otentik. Ia dapat dihubungi melalui kanal edukasinya di media sosial Instagram @kangbepe.