Masih banyak keluhan muncul dari para orang tua berkaitan dengan upaya pengembangan prestasi seorang anak. Keluhan tersebut terjadi karena merasa hasil yang didapat tak sesuai dengan upaya yang telah dilakuan.
“Anak saya malas belajar.”
“Sudah ikut les ini-itu, tetap tidak semangat.”
“Nilainya turun, padahal sudah dipaksa belajar.”
Kalimat-kalimat seperti ini mungkin terdengar akrab di telinga kita. Banyak anak dianggap tidak bersemangat, kurang motivasi, bahkan ‘tidak berbakat’, hanya karena tidak menunjukkan hasil akademik yang cemerlang.
Baca juga: Bupati Bandung Ajak Dunia Usaha Tangani Banjir Dayeuhkolot
Tapi, benarkah mereka malas? Atau mereka hanya salah arah?
Tak sedikit anak yang cepat diberi label negatif hanya karena tidak sesuai ekspektasi. Padahal, menurut Howard Gardner dalam bukunya “Frames of Mind” (1983), setiap anak memiliki jenis kecerdasan yang berbeda, dan tidak semuanya bisa diukur lewat nilai akademik semata.
Sayangnya, sistem pendidikan kita masih lebih banyak menilai dari satu jenis kecerdasan saja. Akibatnya, anak yang punya potensi di bidang lain sering luput dari perhatian, akhirnya kehilangan semangat.
Baca juga: Kapolresta Bandung Pastikan Proses Menyeluruh Atas Kecelakaan Kerja PT Senotex Tewaskan Pekerja
Setiap anak meaksanakan kegiatan belajar dengan cara yang berbeda. Ada yang senang membaca, atau juga ada anak yang harus bergerak dulu sebelum akhirnya bisa fokus.
Carl Jung, seorang psikolog asal Swiss, dalam bukunya “Psychological Types” (1921), menyebut bahwa setiap orang memiliki preferensi bawaan dalam cara berpikir, merasa, dan bertindak. Hal tersebut bisa memengaruhi gaya seorang anak dalam belajar.
Kalau pendekatan belajar tidak sesuai dengan gaya anak, bukan tidak mungkin mereka merasa bosan, gagal paham, lalu dianggap “malas”. Padahal mereka butuh pendekatan yang berbeda, bukan lebih banyak tekanan.
Baca juga: BPBD Klaim Cimahi Sebagai Daerah Paling Tangguh Bencana di Jawa Barat
Berikut ini ada lima cara sederhana yang bisa dilakukan para orang tua untukmengenali potensi anak:
1. Memperhatikan Aktivitas Favorit Anak
Bisa dilakukan dengan menjawab pertanyaan kegiatan apa yang sering dilakukan anak tanpa harus diperintah (disuruh). Jika anak gemar merakit, menggambar, atau bercerita, bisa jadi di situlah potensi awalnya.
2. Mendengarkan Cerita Mereka
Saat anak bercerita dengan penuh semangat, itu petunjuk penting. Bisa jadi topik itu sangat mereka minati—dan itulah benih bakat mereka.
3. Gunakan Alat Asesmen Bakat
Saat ini telah banyak tools yang bisa membantu, seperti Talents Mapping karya Ir. Rama Royani. Tes ini menggali pola pikir, perasaan, dan perilaku alami yang bisa digunakan secara produktif.
Konsepnya selaras dengan definisi bakat dari Gallup: “Any recurring pattern of thought, feeling, or behavior that can be productively applied” (*Now, Discover Your Strengths*, 2001).
4. Mengajak Anak Eksplorasi Aktivitas
Biarkan anak mencoba berbagai aktivitas, dari seni, olahraga, hingga kegiatan sosial. Ini membantu mereka menemukan apa yang paling “menghidupkan” semangatnya.
5. Beri Dukungan, Bukan Ancaman
Anak butuh merasa aman dan didukung. Tunjukkan bahwa Anda percaya pada mereka, alih-alih menakuti dengan ancaman nilai buruk atau perbandingan dengan orang lain.
Baca juga: Kantor Desa Hancur Akibat Longsor, Bupati Bandung Tekankan Pelayanan Publik Tak Terganggu
Jadilah “Teman”, Bukan “Komandan”
Alih-alih memaksa anak mengikuti arah yang kita (orang tua atau guru) anggap ideal, lebih baik temani mereka menemukan jalan sendiri.
Tokoh pendidikan dunia, Sir Ken Robinson, mengatakan: “Anak-anak berkembang optimal ketika mereka berada di lingkungan yang menghargai keunikan mereka” (The Element, 2009).
Peran guru pun kini bergeser. Bukan sekadar penyampai materi, tapi juga fasilitator yang memahami bahwa setiap anak belajar dengan cara berbeda. Pendidikan berbasis kekuatan (strength-based education) menjadi pendekatan yang semakin relevan.
Baca juga: Upaya Buka Jalan Tertutup Longsor, Warga Wangunsari Lembang Dibayangi Longsor Susulan
Anak yang merasa dimengerti dan diarahkan sesuai kekuatannya akan menyalakan semangatnya sendiri, bukan karena disuruh, tapi karena merasa hal tersebut adalah merupakan jalan mereka.
Rasa “malas” yang dulu muncul karena bosan atau merasa tidak mampu, maka secara perlahan akan hilang.
Jadi, sebelum terburu-buru memberi label negatif, mari bertanya lebih dalam: Benarkah anak kita tidak semangat? Atau mereka hanya belum menemukan arah yang tepat?
Penulis: Bambang Purnama, S.Pd., CHA. (Praktisi Talents Mapping – Educator)