Kota Bandung – Jika banyak yang berpendapat bahwa perekonomian Indoesia saat ini sedang tidak baik-baik saja, maka pendapat yang sama juga disampaikan seorang pengusaha asal Bandung sekaligus sebagai pemerhati ekonomi, Sugiri Karjo.
Dalam talk show bersama Warta Pajajaran, Sugiri Karjo megungkapkan sejumlah indikator yang memperkuat pendapat tersebut. Diantaranya, ia mengatakan bahwa indikator yang mudah dilihat adalah dari fenomena mudik lebaran 2025 lalu.
Menurutnya, sebanyak 30 persen atau sekira 40 juta warga di daerah perkotaan, terutama kota besar tidak melaksanakan mudik dengan alasan daya beli yang mengalami penyusutan.
Baca juga: Pengamat Lingkungan Ini Sebut Sarimukti Wujud Janji Palsu Pemimpin, Tak Pernah Disiapkan Jadi TPA
“Tbungan yang rata-rata Rp3 juta per penduduk, saat ini hanya Rp1,5 juta. Sehingga untuk mengeluarkan biaya mudik itu berpikir dua kali, karena memang ekonominya mengalami kontraksi,” tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kontraksi ekonomi ditandai dengan tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menyentuh hingga Rp17.000 per dolar. Indikator lainnya adalah IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) menyusut sampaibebrapa kali dihentikan perdagangannya.
Sementara yang menjadi penyebab terjadinya kontraksi, kata Sugiri, adalah karena neraca transaksi berjalan yang kerap mengalami defisit . Hal ini menurutnya jarang dibahas dan diamati, padahal menjadi indikator kondisi perekonomian sekaligus jalan keluar.
Baca juga: Sambut Kejuaraan Internasional, Yongmoodo Bogor Raya Segera Bangun Dojo Besar
“Dalam neraca transaksi berjalan ada neraca perdagangan non migas dan neraca perdagangan migas. Untuk Non migas kita masih surplus, sedangkan migas ini yang selalu mengalami defisit,” jelas Sugiri.
Komponen lain yang juga disebutkannya adalah neraca keuangan dan neraca jasa yang selalu mengalami defisit. Sehingga dari empat neraca transaksi berjalan, hanya perdagangan non migas yang saat ini meng-cover defisit neraca lainnya.
Salah satu angkah yang mempersulit keadaan adalah ketika neraca keuangan megalami defisit, kemudian mengambil bantuan luar negeri yang menurutnya itu merupakan utang yang harus dibayar oleh negara.
Baca juga: Dua Kepala Daerah Bertemu Perkuat Wacana Perluasan Wilayah Kota Cimahi
“Padahal bantuan itu bukan hibah, tetapi itu kredit yang harus dibayar cicilan plus bunganya. Seperti tahun ini, jatuh temponya hingga Rp800 triliun. Lima tahun ke depan itu sampai Rp5.500 triliun,” bebernya.
Sebagai salah satu jalan keluar untuk menutupi defisit neraca perdagangan migas, keuangan , dan jasa, Sugiri sangat setuju dengan kebijakan hilirisasi non migas yang dapat mendongkrak nilai lebih dari sebuah komoditas.
Ia mencontohkan hilirisasi yang saat ini dilakukan pada komoditas Nikel. Dengan adanya smelter, nilai ekspor nikel Indonesia menurutnya mengalami peningkatan signifikan.
Baca juga: Cimahi Darurat Sampah Lanjut Penerapan Sanksi Bagi Warga Abai Pemilahan
“Dari nikel mentah ditingkatkan menjadi smelter. Jadi, dengan hilirisasi yang nilai nikel asalnya 2.000 bisa dijual 35.000 per tonnya. Demikian juga dengan bauksit (bahan alumunium) serta tembaga yang hilirisasinya di Surabaya,” ungkapnya.
Contoh lainnya adalah hilirisasi batubara yang diolah menjasi carborizer yang dibutuhkan untuk pembakaran nikel yang juga meningkatkan nilai tambah dari batubara dan nikel itu sendiri.
Dengan meghasilkan nilai jual yang lebih tinggi, hilirisasi dinilai Sugiri mampu menjadi penyelamat untuk menutupi tiga neraca transaksi berjalan lainya, yakni neraca perdagangan migas, neraca keuangan, serta neraca jasa.***(Heryana)