Tak Hanya Judi Online, Ini Penyebab Terbesar Perceraian di Kota Cimahi

Bandung Raya885 Dilihat

Kota Cimahi – Jumlah perkara perceraian di Pengadilan Agama Kota Cimahi Klas 1A masih dinilai cukup tinggi jika dibandingkan dengan jumlah populasi dan luas area Kota dengan tiga kecamatan itu.

Kepada Warta Pajajaran, Wakil Ketua Pengadilan Agama (PA) Cimahi Dr. H. Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I mengatakan, jumlah perkara perceraian di Kota Cimahi cenderung mengalami kenaikan rata-rata sebanyak 150-200 perkara setiap bulannya.

Jika pada periode Januari-September 2024 telah mencapai 1.100 perkara, maka bisa diperkirakan pada akhir tahun angka perceraian akan berada di kisaran 1.600 perkara.

Baca juga: Peluang Kontingen Jawa Barat Raih Hattrick PON Makin Terbuka

“Kalau dilihat statistiknya, di tahun 2023 jumlah perkara di Pengadilan Agama Kota Cimahi ini mencapai 1.300. Tahun ini, sampai bulan September saja sudah mencapai 1.100. Artinya, kemungkinan di akhir tahun bisa mencapai 1.600 perkara,” tuturnya.

Lebih lanjut Al Fitri menjelaskan, jika dilihat dari jenisnya, maka cerai gugat menjadi yang terbanyak, yakni menyentuh lebih dari 700 perkara.

Dalam hal ini, para istri yang mengajukan gugatan perceraian ke PA Cimahi dengan berbagai alasan, termasuk alasan ekonomi yang menjadi penyebab cukup dominan.

Baca juga: Penjabat Sekda Kota Cimahi Optimis Momen Maulid Nabi Bawa Semangat Kondusifitas Pilkada

“Dulu ada istilah kalau bukan suami yang menceraikan, maka tak bisa (bercerai), karena hak talak itu ada pada suami. Namun hak cerai juga ada pada istri, tetapi yang menjatuhkan talaknya itu adalah hakim,” terangnya.

dari 1.100 perkara, 707 diantaranya jenis gugat cerai. Hal itu menggambarkan banyaknya perceraian di Kota Cimahi berasal dari keinginan pihak istri.

Dijelaskan Al Fitri, banyaknya istri yang mengajukan gugatan cerai rata-rata disebabkan suami yang dianggap kurang bertanggung jawab, termasuk dalam pemenuhan ekonomi.

Baca juga: Pasca Gempa Kabupaten Bandung, BPBD Kota Cimahi: Harus Tenang Tetap Waspada

Disinggung terkait potensi fenomena judi online dan pinjaman online menjadi penyebab perceraian, Al Fitri tak memungkirinya.

“Perjudian memang menjadi salah satu penyebab perceraian, namun sifatnya secara umum ke ekonomi. Kalau akibat judi secara spesifik cukup kecil, hanya tiga kasus,” jelasnya.

Sementara perkara perceraian yang disebabkan ekonomi memang menempati urutan kedua terbanyak, yakni 118 kasus. Al Fitri menjelaskan, keterpurukan ekonomi akibat rentenir cukup dominan.

Baca juga: Turunkan Anggaran Darurat, Bupati Bandung Prioritaskan Kebutuhan Konsumsi Pengungsi Terdampak Gempa 

Berikutnya, perselisihan terus menerus antara suami istri ternyata memang menjadi penyebab terbanyak perkara perceraian, yaitu sebanyak 580 perkara.

Namun menurut Al Fitri, penyebab tersebut bersifat umum. Secara spesifik, didalamnya juga bisa disebabkan faktor ekonomi, judi dan kebiasan buruk suami, serta soal komunikasi antar pasangan yang sulit mendapat titik temu.

“Contohnya diantara pasangan itu tidak mau bersikap baik terhadap mertuanya, itu juga kadang menjadi pemicu pertengkaran yang terjadi berulang dan terus menerus,” jelasnya.

Baca juga: DPR Sahkan Naturalisasi Mees Hilgers dan Eliano Reijnder Lewat Rapat Paripurna

Teknologi dan kehadiran media sosial juga disebutnya memberi pengaruh terhadap perilaku pasangan yang menyebabkan munculnya perselisihan.

Ia mencontohkan suami atau istri yang lebih sibuk dengan gadgetnya, sehingga dianggap abai terhadap kewajiban dalam rumah tangga, sehingga menjadi bahan perselisihan dan berbuntut perceraian.

Saat ditanya rentang usia pasangan berperkara, Al Fitri mengatakan didominasi dengan pasangan berusia antara 31-40 tahun yang mencapai 416 orang.

Baca juga: Gercep, Polresta Bandung Bantu Penanganan Gempa Kabupaten Bandung 

“Usia muda memang paling rentan, dan hampir merata umur 31 sampai 40,” kata Al Fitri.

Dari data tersebut, ia berkesimpulan jika usia yang cukup memang nyata sangat memengaruhi tingkat kematangan setiap orang dalam menjalani kehidupan, termasuk rumah tangga.

“Makanya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu dalam penjelasannya bahwa salah satu prinsip dalam pernikahan adalah adanya usia matang supaya dapat mengendalikan emosi,” ujarnya.

Baca juga: Program Makanan Bergizi Gratis, Penjabat Sekda Kota Cimahi: Kami Masih Menunggu

Saat ditanya terkait upaya pengadilan untuk dapat menyelamatkan pernikahan yang berperkara, Al Fitri memastikan hal tersebut selalu dilakukan pihaknya karena merupakan amanat Undang-Undang

“Dalam pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1987 Tentang peradilan agama sebagaimana diubah terakhir dengan UU nomor 50 tahun 2009 bahwa wajib hukumnya pengadilan dalam hal ini majelis hakim untuk menasehati agar tidak melakukan perceraian,” jelasnya.

Dengan demikian, ia juga berharap paradigma Pengadilan Agama sebagai tempat bercerai dapat terkikis di tengah masyarakat.***(Heryana)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *