Inilah Empat Masalah Besar Kota Bandung Versi Paguyuban Bandungariung

Bandung Raya589 Dilihat

Kota Bandung – Sejumlah warga yang tergabung dalam paguyuban Bandungariung menggelar diskusi dengan tema “Budaya Tionghoa Anak Kandung Budaya Nusantara”, Rabu (7/2/2024).

Menurut Founder Bandung Ngarung Martin, tema acara tersebut dipilih karena bertepatan dengan menjelang perayaan Imlek.

Namun kepada Warta Pajajaran, Martin menjelaskan jika kegiatan tersebut secara rutin digelar oleh paguyuban Bandungariung dengan tema yang berbeda-beda.

Baca juga: Caleg Edwin Burhanudin: Negara Tertinggal Jauh Jika Masih Bahas Perbedaan

“Kegiatan Bandungariung adalah kegiatan rutin kita setiap hari Rabu pukul 18.30, di Azalea Room 2, D’Botanica Mall, Pasteur Bandung,” ungkapnya.

Lebih lanjut Martin juga menjelaskan bahwa dibentuknya paguyuban tersebut berawal dari kepedulian warga akan Kota Bandung dengan segala problematikanya.

“Paguyuban Bandungariung dibentuk berdasarkan kepedulian warga untuk membuat dan menjaga kota Bandung supaya menjadi kota yang tetap nyaman, berkeadilan, dan beradab untuk ditinggali oleh siapa saja,” terang Martin.

Baca juga: Kampanye Akbar PKB, Gus Imin: Pagi Dilantik, Sore Kita Panggil yang Menangani Pupuk

Dalam pandangannya Kota Bandung memiliki empat masalah besar, yakni banjir, macet, poplasi, dan sampah.

“Termasuk di dalamnya persoalan manajemen kabel yang sudah sangat awut-awutan,” tambahnya.

Namun ditegaskannya, paguyuban Bandungariung selalu mendukung aspek penyelenggaraan kota selama itu positif dan bermanfaat bagi warganya.

Baca juga: Pemkot Bandung Segera Pastikan Estetika Kota Tanpa Kabel di Udara

Yang menarik dari paguyugban yang dibentuk sejak Juli 2023 lalu itu, adalah anggotanya yang heterogen, berlatar belakang pendidikan, ras, etnik, dan agama yang beragam.

“Kita ingin mewujudkan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, kebhinekaan, dan kita ingin segala sesuatu berjalan semestinya,” tandasnya.

Disinggung soal istilah minoritas dan mayoritas yang dibahas pada pertemuan malam itu, Martin mengatakan istilah tersebut sudah tak lagi relevan.

Baca juga: Pojok UMKM: Pempek Segaran, Konsisten dan Konsekuen Kunci Sebuah Eksistensi

Menurutnya, semua orang sepakat bahwa soal istilah minoritas dan mayoritas sudah tidak konteksual dengan kemajuan jaman.

“Karena sesungguhnya tidak ada suku apapun bila dibandingkan dengan total populasi Indonesia itu layak disebut mayoritas,” ucapnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa di Indonesia saat ini, tidak ada satu suku pun yang hidup dengan jumlah populasi mencapai 50 persen, sehingga tidak ada mayoritas.

Baca juga: Dhengenyoh Cuanki, Mendulang Rejeki Menuai Berkah Pandemi

Masyarakat yang mengaku minoritas kata Martin, sesungguhnya sedang melakukan diskriminasi terhadap dirinya sendiri.

“Kita harus sudah berkembang dengan konsep dan paradigma yang baru, kalau kita ingin menjadikan bangsa ini bangsa yang besar,” tandasnya.

Diskusi rutin diselenggarakan paguyuban Bandungariung setiap Rabu pukul 18.30 dengan topik beragam seperti kebijakan publik, kebhinekaan, budaya nusantara, hingga UMKM.***(Heryana)

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *