Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dikabarkan saat ini sedang membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan. Pembahasan yang dilakukan Badan Legislasi (Baleg) dan pemerintah tersebut diharapkan mampu membawa kebaikan bagi dunia kesehatan di Indonesia.
Harapan itu pula yang disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher. Ia berharap RUU Kesehatan tersebut harus mendorong reformasi kesehatan di Indonesia.
“Ketika nanti disahkan menjadi undang-undang, diharapkan dapat memajukan reformasi kesehatan di Indonesia, bukan sebaliknya yang malah menyebabkan kemunduran. Maka, pembahasan RUU ini harus matang, komprehensif, dan tidak grasak-grusuk, seperti yang terjadi pada RUU Ciptakerja,” ujar Netty, Senin (23/1/2023).
Berkaca pada Undang-undang sebelumnya, Netty tidak ingin dalam UU Kesehatan nantinya terdapat pasal yang menurutnya. Hilang dan jauh dari tujuan yang dikehendaki tujuan dari reformasi kesehatan.
“Semua mekanisme dan aturan main dalam penyusunan RUU harus dihormati dan dijalankan. Kemudian dengan metode omnibus law dan pembahasan yang ‘ngebut’ berapa banyak UU yang tidak berlaku, ada juga pasal yang hilang, dan esensi dari UU itu sendiri yang ditinggalkan,” ungkapnya.
Sejumlah permasalahan dalam dunia kesehatan juga menjadi sorotan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. Menurutnya, UU Kesehatan yang baru nanti harus mampu mengakomodir penyelesaian masalah lama seperti kekurangan jumlah tenaga Kesehatan, dan menekan angka stunting.
“Penyelesaian problem krusial seperti kekurangan nakes (tenaga Kesehatan), kesenjangan kualitas dan pemerataan SDM, fasilitas kesehatan (faskes) di daerah, pendidikan profesi, pelayanan kesehatan prima, pengentasan stunting dan sebagainya, harus menjadi perhatian utama,” tandasnya.
Selanjutnya, Netty juga berharap RUU kesehatan yang sedang di bahas Baleg itu dapat menjadi UU yang aspiratif, mampu menampung masukan masyarakat dan pihak yang berkaitan langsung dengan dunia kesehatan.
“Masukan-masukan yang positif dari masyarakat, organisasi profesi, dan pakar kesehatan harus ditampung, diakomodir dan diimplementasikan. Dengarkan suara-suara tersebut dengan baik dan bijaksana. Kita tidak ingin setelah RUU tersebut disahkan, baru terlihat banyak bolongnya di sana-sini,” imbuh Netty.
Seperti yang disinggung politisi asal Jawa Barat ini sebelumnya, metode penyusunan RUU kesehatan kata Netty harus diperhatikan. Menurutnya, ada banyak UU yang berkaitan dengan UU Kesehatan, ia tidak ingin metode penyusunan yang digunakan berdampak buruk pada implementasi dari UU itu sendiri.
“Apakah metode omnibus law cocok digunakan untuk membahas kebutuhan kesehatan sebagai hak fundamental rakyat? Karena akan ada 13 UU yang terdampak di dalamnya,” pungkasnya.***(klz).